Mobil Sekarang Mudah Rusak Total? Ternyata Bukan Salah Pengemudi, Ini Penyebabnya

Mobil Sekarang Mudah Rusak Total? Ternyata Bukan Salah Pengemudi, Ini Penyebabnya

Nusantaratv.com - 30 Desember 2025

Disebutkan 1 dari 4 mobil kini rusak total setelah kecelakaan. (Foto: Istimewa/bwhlegal.com)
Disebutkan 1 dari 4 mobil kini rusak total setelah kecelakaan. (Foto: Istimewa/bwhlegal.com)

Penulis: Adiantoro

Nusantaratv.com - Fenomena mobil rusak total setelah kecelakaan kini semakin sering terjadi. Namun, penyebabnya bukan karena pengemudi makin ceroboh atau teknologi mengemudi otonom yang gagal. 

Laporan industri terbaru mengungkap fakta mengejutkan. Kompleksitas teknologi kendaraan dan usia mobil yang semakin tua menjadi faktor utama di balik lonjakan kerugian total.

Berdasarkan laporan Crash Course terbaru dari CCC, seperti dikutip dari Carscoops, Selasa (30/12/2025), menyebutkan industri otomotif dan asuransi menghadapi peningkatan struktural dalam kasus total loss (kerugian total). 

Perubahan jangka panjang dalam desain kendaraan serta perilaku konsumen secara diam-diam mengubah apa yang terjadi setelah sebuah benturan.

Data CCC menunjukkan hampir 1 dari 4 mobil yang mengalami kecelakaan kini dinyatakan rusak total.

Angka ini terus meningkat, dari 22,1 persen pada 2024 menjadi 22,8 persen pada 2025, atau naik 0,7 poin hanya dalam satu tahun.

Menariknya, lonjakan ini tidak berkaitan dengan memburuknya perilaku mengemudi. Bahkan, hanya dari kuartal ketiga saja, frekuensi kerugian total melonjak hampir 1 persen. 

Jika tren ini berlanjut, 2025 berpotensi mencatat proporsi mobil rusak total tertinggi sepanjang sejarah.

Salah satu fakta penting lainnya, yakni lebih dari 72 persen penilaian kerugian melibatkan kendaraan berusia tujuh tahun atau lebih. 

Ini menegaskan populasi mobil yang menua di Amerika Serikat (AS) menjadi bagian besar dari persoalan, meski bukan satu-satunya penyebab.

Teknologi Canggih, Biaya Perbaikan Melonjak

Kendaraan modern kini dipenuhi teknologi Advanced Driver Assistance Systems (ADAS) dan elektronik terintegrasi. Akibatnya, perbaikan menjadi jauh lebih kompleks dan mahal.

Jika dulu benturan ringan cukup mengganti bemper, kini satu penutup bemper bisa berisi radar, lidar, dan sensor ultrasonik. Kerusakan kecil pun bisa berujung biaya besar. 

Hal serupa terjadi pada kaca depan, yang kini dilengkapi sensor hujan, kamera, dan sistem keselamatan lainnya.

Tekanan tarif impor dan gangguan rantai pasokan turut memperparah ketidakpastian harga suku cadang. 

Sementara itu, menurunnya jumlah klaim kerusakan kecil justru membuat proporsi mobil yang dinyatakan rusak total semakin tinggi.

Hingga kuartal ketiga 2025, rata-rata biaya perbaikan naik dari US$4.700 menjadi US$4.768. Biaya klaim medis juga meningkat, dengan kasus cedera yang lebih sering dan perawatan berbiaya tinggi muncul lebih awal dalam proses klaim.

Tak kurang dari 88 persen penilaian perbaikan dalam program DRP kini memerlukan pemindaian diagnostik, dan 36 persen membutuhkan kalibrasi, langkah krusial agar sistem ADAS kembali berfungsi normal. 

Proses ini memperpanjang waktu perbaikan, meningkatkan biaya sewa kendaraan pengganti, serta menekan model biaya perusahaan asuransi.

Dampaknya Menyentuh Semua Pihak

Lonjakan kompleksitas ini tidak hanya dirasakan konsumen. Dealer, perusahaan asuransi, dan bengkel perbaikan juga menghadapi efek domino dari mahalnya perbaikan berbasis teknologi.

Setiap mobil yang dinyatakan rusak total berarti konsumen harus mencari pengganti dengan anggaran terbatas, di tengah tekanan kenaikan premi asuransi. 

Kondisi ini semakin meningkatkan permintaan terhadap mobil bekas yang terjangkau, sekaligus menambah tekanan pada pasar otomotif secara keseluruhan.

Jika tren ini berlanjut, mobil modern mungkin semakin aman, namun ketika kecelakaan terjadi, risikonya justru lebih sering berakhir dengan vonis, rusak total.

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close