Nusantaratv.com-Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Reda Manthovani menceritakan suka duka yang dialami para jaksa saat menjalankan tugas sebagai penegak hukum. Mulai dari framing jahat, fitnah hingga ancaman harus dihadapi Korps Adhyaksa. Bahkan saat mendatangi sebuah desa untuk mengungkap tindak pelanggaran hukum para jaksa juga dicurigai.
"Kalau ancaman sih pasti ada," ungkap Reda Manthovani saat diwawancarai jurnalis Nusantara TV Abraham Silaban dalam program Abraham di Nusantara TV.
"Kalau ke saya belum ada sih. Ke anggota-anggota. Contohnya kalau kita masuk ke suatu daerah kayak ke desa, pasti dicurigai," imbuhnya.
Reda menyebut para jaksa dicurigai saat masuk ke suatu desa karena tidak memakai seragam. Mereka sengaja tidak memakai seragam agar lebih leluasa dalam menggali dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk mengungkap tindak kejahatan yang terjadi.
"Itu karena engga pakai. Kalau pakai seragam engga dicuriga malah manut-manut saja. Tetapi dengan tidak pakai seragam kan mereka menjadi lebih terbuka," tuturnya.
Reda mengakui ada risiko bahaya yang harus dihadapi seorang jaksa saat menjalankan operasi senyap di lapangan.
Namun dalam pelaksanaan operasi senyap, Kejaksaan Agung telah menyiapkan upaya antisipasi risiko dengan membentuk lapisan-lapisan pelindung.
"Semua yang operasi turun ke lapangan pasti ada lapisan-lapisannya ada backup-backup-nya. Termasuk kita banyak dibantulah juga oleh aparat lain. Ada perlindungan-perlindungan tertentu," ujarnya.
Reda menuturkan pihaknya juga pernah diancam untuk tidak meneruskan sebuah kasus ke tingkat pidana khusus dari seorang petinggi yang memiliki kekuatan politik.
"Tolong jangan diteruskan ke pidsus misalnya. Kalau sampai masuk Pitsus lihat saja. Ancaman-ancaman seperti itulah yang lebih banyak," bebernya.
"Makanya kita tetap ada plan A plan B. Tetap kami lakukan," imbuhnya.
Disinggung soal ancaman yang pernah dirasakan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin. Di mana Jaksa Agung diancam Kejaksaan Agung akan 'diratakan' saat menangani sebuah kasus. Reda mengatakan ia bersama jajaran juga merasakan apa yang dirasakan Jaksa Agung.
"Apa yang dirasakan Pak Jaksa Agung juga kami rasakan," tandasnya.
Reda juga mengaku pernah menjadi korban framing. Hal yang merugikan itu ia alami usai mengunjungi David Ozora korban penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy. Reda Manthovani yang kala itu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dituduh ingin menawarkan upaya restorative justice (RJ) sebagai penyelesaian kasus tersebut.
"Itu framing. Seolah-olah saya dianggap waktu itu mau meng-RJ-kan kasus Mario Dandy. Padahal kunjungan saya ke korban murni sosial. Manusiawi. Seolah-olah saya ngasih bantuan untuk membujuk keluarga David. Padahal di sana ada banyak teman-teman Banser. Dan alhamdulillah teman-teman Banser bantu saya klarifikasi," beber Reda.
Gimana rasanya jadi korban fitnah, korban bully Prof?" tanya Abraham Silaban.
"Waduh, berapa minggu saya di media. Tapi saya percaya time is evidence. Waktu yang akan membuktikan," jawab Reda.
Ditanya apakah pernah ditawari uang untuk tidak menginformasikan suatu hasil operasi intelijen.
"Kalau saya biasanya kalau gitu-gitu saya lapor ke pimpinan. Misalkan ada apa-apa saya selalu. Semua kita laporin ke pimpinan," ucapnya.
Saksikan selengkapnya perbincangan eksklusif bersama Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Reda Manthovani pada program Abraham di Nusantara TV dalam video di bawah ini.
Program Abraham tayang setiap hari Senin pukul 20.00 WIB hanya di Nusantara TV.